Memainkan Sepakbola Terindah di Tanah Timor Leste .
Dalam film "A Barefoot Dream" karya sutradara Kim Tae-Gun, cerita Sin-Hwan ini dikisahkan ulang. Satu drama sepakbola luar
biasa berlatar belakang Timor Leste ini diangkat dari kisah nyata, yaitu saat Sin-Hwan sukses mengantarkan tim muda Timor Leste juara di Jepang.
Minggu, 01/12/2013 10:01 WIB
Memainkan Sepakbola Terindah di Tanah Timor Leste
Oleh Abimanyu Bimantoro - detikSport
Bagi para penggemarnya, sepakbola boleh dikatakan sebagai bahasa universal. Satu lapangan, gawang, dan bola seadanya sudah cukup untuk menjembatani seorang asing
dengan tanah yang dipijaknya. Kegembiraan dan gairah bermain bola, seberapa pun klise ungkapan ini, memang mampu "berbicara" pada seseorang yang memang menyukai
permainan ini.
Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Kim Sin-Hwan, seorang mantan pemain timnas Korea Selatan yang terdampar di Timor Leste. Sempat akan meninggalkan negara itu,
sepakbola liar yang dimainkan kaki-kaki telanjang anak Timor Leste justru menariknya kembali.
Dalam film "A Barefoot Dream" karya sutradara Kim Tae-Gun, cerita Sin-Hwan ini dikisahkan ulang. Satu drama sepakbola luar biasa berlatar belakang Timor Leste ini
diangkat dari kisah nyata, yaitu saat Sin-Hwan sukses mengantarkan tim muda Timor Leste juara di Jepang.
Jika Anda adalah anak-anak generasi 90-an ke belakang, film ini juga akan cocok untuk Anda. Terlebih jika masa kecil anda dipenuhi oleh sepakbola dan mimpi untuk
menjadi pemain sepakbola profesional. Semua kenangan masa kecil dan mimpi-mimpi masa lalu Anda akan digambarkan dengan sangat hebat di film ini.
Tak Ada Kebun Kopi di Timor
Cerita bermula dari Kim Sin-Hwan yang datang ke Timor Leste untuk memulai bisnis perkebunan kopi. Namun sayang, perkebunan ini ternyata hanya sebuah bualan yang
diciptakan oleh orang Korea lain yang sudah kembali ke negaranya.
Tidak ada perkebunan kopi di negeri yang gersang tersebut, Sin-Hwan pun harus rela mengalami kegagalan bisnis. Ia disarankan untuk kembali pulang ke Korea.
Semua berubah ketika Kim melihat sepakbola di Timor Leste. Ia malah mengurungkan niatnya untuk meninggalkan negeri tersebut. Melihat gairah yang luar biasa di tanah
Timor Leste, Kim memutuskan untuk memulai bisnis sepakbola.
Hanya saja, sepertinya Kim Sin-Hwan bukan pebisnis yang baik. Di Timor Leste, Kim malah menjual peralatan sepakbola bermerk dengan harga selangit. Anak-anak yang
sehari-harinya bekerja serabutan tentu tidak akan sanggup membeli peralatan tersebut. Bisnis Kim pun kembali gagal.
Kim Sin-Hwan, yang tidak mau menyerah, memutuskan untuk melatih anak-anak sambil menjual peralatan olahraganya. Kim menanamkan mimpi pada anak-anak, bahwa mereka dapat
menjadi pemain pro yang bertanding di kancah internasional.
Dengan berbagai macam konflik, cerita kemudian berkembang hingga Kim Berhasil mengantarkan anak-anak Timor Leste juara turnamen di Jepang.
Profesionalisme di Sepakbola Anak
Sekilas, alur cerita film ini memang tidak jauh berbeda dengan drama-drama sepakbola lainnya. Ada cerita tentang mimpi universal, yaitu bermain di tim nasional,
berlatih, dan berhasil juara di suatu kejuaraan.
Namun secara tersirat, terdapat banyak hal yang disampaikan sang sutradara melalui film ini. Bahwa untuk juara, tak sekedar punya mimpi.
Berawal dari ketika Kim berusaha mengumpulkan anak-anak untuk membentuk timnya. Hal pertama yang dilakukan Kim bukanlah mempersiapkan taktik dan teknik bermain,
melainkan menyiapkan fisik anak-anak. Sepakbola adalah permainan yang membutuhkan kemampuan fisik yang baik. Teknik dan strategi sebaik apapun tidak akan berjalan
ketika fisik sudah habis. Ini disadari betul oleh Kim.
Kim kemudian memperkenalkan satu bentuk sepakbola profesional, meski dengan cara yang sederhana. Kim mencoba merekrut Ramos, salah satu anak berbakat dari tim lawan
dengan iming-iming sepatu sepakbola gratis.
Ya, inilah contoh sepakbola profesional. Pemain dan klub sama-sama memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Berbeda dengan pemain amatir, pemain profesional memiliki
hak yang harus ditanggung oleh setiap klub yang mengontraknya.
Ketika konflik di Timor Leste kembali berkecamuk, Ramos dan Montavio, dua pemain andalan klub yang dibentuk Kim, ternyata memiliki permasalahan pribadi. Kakak Ramos
harus berjalan dengan pincang akibat serangan dari pihak keluarga Montavio saat konflik berlangsung. Permainan tim yang sudah berjalan harmonis pun berantakan ketika
permasalahan pribadi tersebut hadir ke lapangan.
Dari ilustrasi itu terlihat, bahwa film ini berhasil menggambarkan kondisi sepakbola ideal yang dibutuhkan sepakbola anak di Indonesia saat ini. Anak-anak Indonesia
mebutuhkan suatu sistem pembinaan untuk dapat menjadi pemain berbakat. Anak-anak tidak sekedar dipaksa untuk bisa menendang bola, namun dibutuhkan suatu sistem yang
baik agar perkembangan anak berjalan ke arah yang diinginkan. Sistem harus dirancang dengan perhitungan matang, bukan dengan cara-cara instan seperti yang sering
dipraktekan saat ini.
Anak-anak yang sudah mulai matang, juga harus mendapatkan perlakuan secara profesional. Mereka sudah rela mengorbankan masa mudanya untuk menjadi pemain sepakbola.
Maka mereka kemudian berhak untuk mendapatkan perlakuan selayaknya pemain profesional.
Meski demikian, dari film ini terlihat bahwa sepakbola terindah yang kita mainkan adalah sepakbola bertelanjang kaki di lapangan dekat rumah. Penuh keceriaan dan tanpa
aturan.
Sepakbola Timor Leste saat ini mungkin bukan kekuatan yang patut untuk diperhitungkan. Prestasi tim nasional Indonesia masih jauh lebih baik dari mereka. Anak-anak
Timor Leste yang kemudian berhasil mewujudkan mimpinya untuk bermain di klub Liga Indonesia pun juga dapat dihitung dengan jari.
Namun kita tidak bisa lupa bahwa pada tahun 2009, tim U-16 Timor Leste berhasil membungkam Tim U-16 Indonesia di Solo. Pertandingan ini seharusnya sudah cukup untuk
menjadi peringatan kita semua.
Pilihannya hanya dua, berbenah untuk memperbaiki semuanya, atau bersiaplah menerima kenyataan jika nanti anak cucu kita justru memiliki mimpi untuk bermain di klub
profesional Timor Leste.